Historiografi
Historiografi
terbentuk dari dua akar kata yaitu history
(sejarah) dan graph (tulisan). Jadi historiografi artinya adalah tulisan
sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem
oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem
oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi
kepada pemecahan masalah (problem solving),
yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian.
Sedangkan yang dimaksud dengan no problem
oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada
pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode
penelitian (Jayusman, 2012).
Secara lebih
luas, Louis Gottschalk dalam (Dasuki, 2003, hal.
338) menyebutkan arti historiografi sebagai berikut:
a. Historiografi merupakan bentuk publikasi,
baik dalam bentuk tulisan maupun secara lisan, yang sengaja memberi pertelaan
mengenai suatu peristiwa atau kombinasi peristiwa-peristiwa pada masa lampau
b. Historiografi diartikan sebagai hasil karya
berupa tulisan atau bacaan mengenai sejarah yang meliputi juga sejarah lisan
c. Historiografi adalah proses penulisan sejarah
sebagai penerapan aspek serba interpretatif dalam metode sejarah untuk menyusun
sintetis sejarah yang dilandasi oleh penelitian yang seksama melalui heuristik,
kritik terhadap sumber-sumber sejarah dan seleksi terhadap fakta-fakta sejarah.
d. Historiografi merupakan kegiatan dalam kerja
keilmuan di bidang sejarah yang menghasilkan tulisan-tulisan sebagai kategori
pemikiran teoritis dan metodologis mengenai masalah-masalah dalam penelitian
danproses penelitian sejarah.
2. Perkembangan
Historiografi Indonesia
Perkembangan
historiografi Indonesia tidak terlepas dari pertumbuhan historiografi dan ilmu
sejarah pada umumnya. Persoalan yang langsung menyangkut historiografi Indonesia,
antara lain diferensiasi dalam bidang-bidang sejarah, seperti sejarah gerakan
sosial, hubungan internasional, struktur sosial, jadi hubungan yang semakin
erat antara sejarah dengan ilmu pengetahuan sosial, sedangkan metodologi
mengambil peranan yang semakin penting (Rohman,
2013). Perkembangan historiografi seiring dengan perkembangan masyarakat
dan bangsa Indonesia, baik melalui upaya-upayanya maupun setelah mendapat
pengaruh dari kebudayaan lain dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
a. Historiografi Tradisional
Pada masa
perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan sejarah
yang banyak ditulis
oleh para pujangga kraton, karya-karya
mereka bertujuan untuk
melegitimasi kedudukan raja.
Dengan demikian, historiografi
pada masa ini mempunyai ciri-ciri magis, religius, bersifat
sakral, menekankan kultus,
dewa raja dan mitologi, bersifat anakronisme, etnosentrisme, dan
berfungsi sosial psikologis
untuk memberi kohesi
pada suatu masyarakat tentang
kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti (Indriyanto,
2001, hal. 2).
Selanjutnya
Soedjatmoko (1965) mengemukakan bahwa
historiografi tradisional nusantara, kita kenal dengan sejumlah istilah
seperti babad, serat kanda, sajarah,
carita, wawacan, hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung (Sjamsuddin,
2007, hal. 10). Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi
(syair). Kartodirdo (1982) menyebutkan historiografi tradisional itu berkembang
setelah suatu kelompok dalam masyarakat Indonesia membentuk suatu kesatuan
politik. Dengan timbulnya kerajaan atau kehidupan bangsa dalam suatu kesatuan
politk, dibina pula historiografi yang menghasilkan naskah sebgai karya sastra
sejarah. Pembinaan historiografi diselenggarakan di pusat kerajaan di berbagai
daerah di Indonesia. Karya sastra sejarah yang dihasilkan terdiri dari
naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah dan sejarah di dalamnya masih difungsikan
sebagai mitos (Dasuki, 2003, hal. 347).
Karya-karya sejarah
yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil karyanya
biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk
historiografi tradisional yang ditulis oleh para pujangga keraton dari kerajaan
hindu/budha sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad Parahiangan, 3.
Babad Tanah Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad Galuh, 7. Babad
Sriwijaya, dan lain-lain. Sedangkan
karya historiografi tradisional yang ditulis para pujangga dari kerajaan Islam
diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2.
Babad Banten yaitu karya dari Kerajaan
Islam Banten, 3. Babad Dipenogoro
yaitu karya yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak
yaitu karya tulis dari Kerajaan Islam Demak,
5. Babad Aceh dan lain-lain (Jayusman,
2012).
Karakteristik Historiografi Tradisional
adalah sebagai berikut (Jayusman, 2012; Dasuki,
2003, hal. 346-347):
1) Bersifat istana/kraton sentris, dimana
karya-karya didalamnya banyak mengungkapkan sekitar kehidupan keluarga
istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak mendapat tempat didalamnya, dengan alasan
rakyat jelata dianggap a-historis.
2) Bersifat Religio-magis, , artinya dalam
historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia yang memiliki
kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan gaib. Tujuannya agar
seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya, sehingga
rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan memandang,
bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai perwujudan atau
perwakilan dari Tuhan.
3) Bersifat regio-sentrisme dimana cerita
sejarah berpusat kepada kedudukan sentral raja, sehingga menimbulkan
raja-sentrisme. Sebagai contoh, ada historiografi tradisional dengan secara
vulgar memakai judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti Babad Cirebon,
Babad Bugis, Babad Banten.
4) Bersifat etnosentris artinya dalam
historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada penonjolan/egoisme
terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah kerajaan.
5) Bersifat psiko-politis sentrisme, artinya
historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat kental dengan
muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya historiografi tradisional
dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka mempertahankan
kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya historiografi tradisional
oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya penuh
dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.
Karena
banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya
dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat
dan banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarkatnya.
Melukiskan kenyaataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam
hal ketepatan fakta (Kuntowijoyo, 1995, hal. 8).
Namun historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan
sumber untuk penulisan sejarah karena masih dapat mengambil nama tokoh, nama
wilayah/daerah dan tahun kejadian (Jayusman,
2012).
b. Historiografi Kolonial
Historiogrofi
kolonial tidak terlepas dari kepentingan penguasa kolonial untuk mengokohkan
kekuasaan di Indonesia. Kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka tehadap
suatu peristiwa sejarah yang tentunya akan berlawanan dengan historiografi
sejarah nasional. Historiografi Kolonial
adalah karya sejarah (tulisan sejarah)
yang ditulis pada masa pemerintahan
kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia, yaitu sejak zaman VOC (1600) sampai
masa Pemeritahan Hindia Belanda yang berakhir ketika tentara pendudukan Jepang
datang di Indonesia (1942). Perlu ditambahkan, pemerintahan Hindia Belanda yang
dikendalikan oleh para Gubernur Jenderal (GB) melalui para ahli begitu aktif
menulis karya sejarah. Atau dengan kata lain, historiografi kolonial adalah
karya tulis sejarah yang ditulis oleh para sejarawan kolonial ketika
pemerintahan kolonial berkuasa di Nusantara Indonesia (Jayusman, 2012).
Kartodirdjo
(1995) dalam (Indriyanto, 2001, hal. 2)
mengemukakan historiografi kolonial yang
sudah mendasarkan pada
tradisi studi sejarah kritis.
Namun demikian, perspektif
yang menonjol masih
menunjukkan Neerlandosentrisme sebagai
penyempitan wawasan Eropasentris.
Asal mulanya karya
sejarawan Belanda terutama
mengisahkan perjalanan
pelayar-pelayar Belanda serta
kemudian perkembangan VOC
dilanjutkan dengan pemerintah
kolonial beserta
penguasa-penguasanya. Dalam hal ini kita
menjumpai penulisan sejarah
berdasarkan tradisi historiografi konvensional yang lebih berupa
riwayat orang-orang berkuasa, antara lain Gubernur Jendral, raja-raja, panglima,
dan sebagainya. Sebuah model
sejenis historiografi ini
adalah karya W.F.
Stapel, Geschiedenis van Nerlands-Indie.
Dalam
historiografi kolonial Belanda diciptakan juga berbagai mitos untuk menonjolkan
superioritas bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia (Dasuki, 2003, hal. 348). Inti cerita sejarah dari Historiografi
Kolonial adalah bangsa Belanda, oleh sebab hanya Belandalah yang dipandang
penting di Hindia Belanda. Hal ini jelas dari istilah Hindia Belanda atau
Hindia Nederlan yaitu daerah Hindia (Indonesia) yang “dimiliki” oleh Belanda.
Bangsa Belanda sebagai “pemilik” memandang diri pribadinya sebagai yang
dipertuan dan sebagai bangsa yang termulia, sehingga bangsa Indonesia hanya
mendapat gelar “bumi putera” atau orang negeri. Kita tidak dipandang sebagai
suatu bangsa, tetapi hanya sebagai sejenis manusia yang berguna bagi Belanda (Jayusman, 2012). Dalam mitos Hindia Belanda
dibuat fiksi bahwa seakan-akan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia secara
apriori sudah dimuali pada tahun 1596. Perang-perang kolonial pada abad ke-19
terhadap daerah-daerah yang menentang untuk mempertahankan kehidupan masyarakat
dan kebudayaan dimitoskan dengan disebut “pasifikasi” (Dasuki, 2003, hal. 348).
Contoh karya
historiografi kolonial yang paling popular adalah sebuah buku yang ditulis oleh
Raffles dengan judul History Of Java.
Karya lainnya adalah karya-karya yang ditulis H.J. de Graaf dengan judul: Geschiedenis van Indonesia (Sejarah
Indonesia). Karya B.H.M. Vleke dengan judul: Geschiedenis van den Indischen Archipel (Sejarah Nusantara). Karya
G. Gonggrijp dengan judul: Schets ener
aconomische Geschiedenis van Nederlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia
Belanda) (Jayusman, 2012).
Karakteristik
historiografi kolonial adalah sebagai berikut:
1) Belanda Sentrisme atau Neerlando Sentrismus artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut
pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa (menjajah) di
Nusantara Indonesia saat itu (Jayusman, 2012).
2) Eropasentrisme, artinya selain ditulis dari
sudut pandang kepentingan orang Belanda, ditulis juga sesuai dengan kepentingan
bangsa Eropa pada umumnya.
3) Mitologisasi artinya banyak kejadian yang
tidak didasarkan pada kejadian yang sebenarnya (Dasuki,
2003, hal. 348). Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk
membuat mitologisasi dari dominasinya, dengan menyebut perang-perang kolonial
sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan
untuk pertahanan masyarakat serta kebudayaannya (Rohman,
2013).
4) ahistoris
artinya Orang Belanda dianggap sebagai manusia paliang sempurna dalam
berbagai kehidupan di Nusantara, peran mereka ditulais dalam historiografi
Kolonial sampai berlembar-lembar sementara peran rakyat pribumi sebagai pemilik
sangat sederhana dan dituangkan dalam halaman yang sangat minim. Sejarawan
kolonial menganggap bahwa rakyat pribumi sebagai non-faktor dalam sejarah.
Contoh historiografi Kolonial dalam buku Sejarah Hindia Belanda sebagai
berikut: Zaman purbakala dan Hindu (25 Halaman), Penyiaran Islam dan bangsa
Portugis di Indonesia (8 halaman), VOC-kongsi dagang Belanda (152 halaman) dan
pemerintah Belanda (150 halaman) (Jayusman,
2012).
c. Historiografi Modern
Historiografi
modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik dalam mendapatkan fakta sejarah.
Fakta sejarah didapatkan melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu
bantu, adanya teknik pengarsipan dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Suatu
periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan
timbulnya studi sejarah kritis. Dalam penulisan tentang sejarah kritis
dipergunakan prinsip-prinsip metode sejarah. Studi sejarah kritis juga
memerlukan bantuan dari ilmu lain untuk mempertajam analisanya. Hal ini
merupakan implikasi dari mulai sedikitnya peran analisa tekstual dengan bantuan filologi terhadap studi sejarah
Indonesia modern. Di sini yang harus diperbaiki adalah alat-alat analitis serta
metodologis.
Bertolak dari
hal ini, maka beberapa disiplin dari ilmu-ilmu sosial mulai dicantumkan dalam
studi sejarah. Konsep sejarah nasional sebagai unit makro merupakan kerangka
referensi bagi sejarah lokal/regional yang dapat dipandang sebagai unit mikro.
Sejarah nasional sebagai macro-history
mencakup interaksi antar micro-unit, antara lain melalui pelayaran,
perdagangan, perang, penyiaran agama atau menuntut pelajaran, hubungan antara
lembaga-lembaga nasional, seperti partai-partai politik. Sejarah nasional bukan
jumlah dari sejarah lokal, tetapi proses-proses atau kejadian-kejadian pada
tingkat sejarah lokal diterangkan dalam hubungannya dengan proses nasional (Rohman, 2013).
Historiografi
modern, merupakan suatu periode perkembangan baru dalam historiografi Indonesia atau nasional. Diawali dengan munculnya karya Husein Djajadiningrat,
Critische Beschouwingen van de
Sejarah Banten, kemudian
karyakarya sejarah sejarah selanjutnya banyak dipengaruhi oleh karya
ini, yaitu dengan dipergunakannya aspek pendekatan ilmu lain untuk melengkapi atau
menulis suatu karya
sejarah (Indriyanto, 2001, hal. 2).
Di Jaman Jepang Sanusi Pane dan Douwes Dekker sudah memelopori menulis Sejarah
Indonesia dengan semangat nasionalisme. Karya mereka walaupun dari sudut ilmiah
tidak mendapat penilaian yang tinggi, namun telah banyak membantu guru yang
mengajar sejarah Indonesia pada zaman Jepang dan jaman berikutnya (Dasuki, 2003, hal. 349).
Sejumlah
tulisan sebagai suatu kategori pemikiran teoritis dan metodologis untuk
menangani masalah-masalah penulisan sejarah nasional Indonesia, secara
komprehensif dipublikasikan antara lain karya Mohamad Ali dengan Judul
Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia dan Sartono Karotdirdjo yang menerapkan
metode yang sophisticated dengan
pendekatan neo sosial ilmiah dengan menggunakan konsep-konsep yang dipinjam
dari ilmu-ilmu sosial. Pendekatan
yang digunakan bersifat multidimensional. Dibedakan pula antara sejarah naratif
dan non naratif (Dasuki, 2003, hal. 350).
Sejarah
naratif, sebagai hasil dari historiografi konvensional, menyusun cerita untuk
membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekontruksi “apa yang terjadi”
melalui seleksi “kejadian-kejadian” penting yang diatur menurut poros waktu
dalam urutan kronologis. Sedangkan sejarah non-naratif tidak menyusun certera
yang merangkaikan deretan peristiwa menurut poros waktu, tetapi berpusat pada
masalah (problem oriented).
Karakteristik
historiografi modern adalah sebagai berikut:
1) Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan
sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah nasional (Dasuki, 2003, hal. 348) dan ditulis dari sudut
kepentingan rakyat Indonesia. Tugas dari historiografi nasional
adalah“membongkar dan merevisi”
historiografi kolonial yang gaya penulisannya diselewengkan oleh para
sejarawan kolonial yang sangat merugikan proses pembangunan, khususnya pembangunan
sikap mental bangsa (terutama generasi
muda) Indonesia dewasa ini (Jayusman, 2012).
2) Bersifat metodologis, artinya penulisan
sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan
ilmiah untuk ilmu sosial.
3) Bersifat kritis historis, yang berarti
substansi penulisan sejarah Indonesia secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.

Post a Comment for "Historiografi"